...from this moment on,
every voice that told you,“you can’t” is silenced!
Every reason that tells you : things will never change,
disappears...
Pada tanggal 31 Desember, saya diberi film menarik oleh adik saya. The Freedom Writers. Pada awalnya saya mengira bahwa ini adalah film tentang jurnalistik atau semacamnya. Ternyata ini adalah sebuah film yang diangkat dari sebuh kisah nyata tentang rasisme yang terjadi di Long Beach, California. Tugas ini saya tulis dengan menggunakan format penulisan karya ilmiah populer agar lebih menarik. Mohon maaf sebelumnya.
SINOPSIS
Erin Gruwell (diperankan oleh Hillary Swank) berprofesi sebagai guru bahasa Inggris ketika isu rasisme di Amerika begitu hangat. Menurutnya, “peperangan” rasisme yang sesungguhnya tidak terjadi di dunia luar melainkan di sekolah. Dengan penuh harapan dan semangat, Erin mengajar bahasa Inggris di kelas 203 (lebih dikenal sebagai Room 203), yang di dalamnya terdapat beragam gank ras yang selalu mengelompok. Dalam film ini ditampilkan ras Kamboja (Cambodia), kulit hitam (The Black People), seorang kulit putih (The White People), dan sebagainya.
Pada awal kedatangan Erin (The White people), para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya dan menganggap Erin tidak tahu tentang kehidupan yangs sesungguhnya. Bagi mereka (murid kelas 203), kehidupan adalah bagaimana caranya mereka selamat dari kekerasan seperti penembakan yang mengatasnamakan ras. Setiap murid merasa tidak aman jika berada di luar sekolah bahkan di luar rumah mereka sendiri.
Tidak hanya menghadapi murid dari berbagai ras, Erin juga menghadapi kenyataan bahwa yang “memulai” pengelompokan justru dimulai semenjak mereka duduk di bangku sekolah. Kelas 203 merupakan kelas di mana muridnya didominasi oleh The Black People yang dianggap mempunyai kemampuan jauh di bawah The White People. Pihak sekolah melarang mereka untuk membaca buku-buku yang dibaca oleh murid dari kelas lain karena dianggap tidak mampu “mengkonsumsi” buku-buku tersebut. Erin menyadari bahwa ada batas yang tidak terlihat (invisible border) di antara murid-muridnya.
Kemudian Erin menemukan cara untuk “merangkul“ kehidupan muridnya dengan memberikan mereka buku harian (jurnal) yang harus diisi setiap hari. Di buku itu mereka bebas menuliskan apa saja dan jika mereka memperbolehkan Erin membaca, buku tersebut harus diletakkan di lemari kelas. Awalnya Erin ragu cara ini akan berhasil ternyata semua murid menyanggupinya. Dari sinilah Erin mengetahui bahwa kehidupan mereka memang keras dan semakin bersemangat untuk merubah kehidupan muridnya. Erin rela bekerja paruh waktu (part time) di beberapa tempat demi mengumpulkan uang untuk membeli buku yang dianggap tidak sanggup dibaca oleh mereka, yaitu buku harian Anne Frank (The Diary of Anne Frank) -seorang Yahudi korban Holocaust-.
Tidak hanya itu, Erin juga mengundang korban-korban Holocaust lainnya untuk makan malam bersama muridnya. Kemudian seorang sahabat yang pernah menyelamatkan Anne Frank dari kejaran Nazi -Miep Gies- juga diundang dari Switzerland ke Long Beach dengan usaha penggalangan dana. Usaha-usaha ini rupanya semakin mengakrabkan Erin dan muridnya. Usaha-usaha Erin lambat laun menyadarkan murid-muridnya bahwa kekerasan terhadap sesama merupakan suatu hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Murid-murid yang pada awalnya saling membenci karena berbeda ras, akhirnya menjadi berteman dan menghancurkan invisible border yang selama ini mengurung mereka. Beberapa dari mereka membuang senjata api yang selama ini dijadikan alat perlindungan diri dan meninggalkan kehidupan gank jalanan.
ANALISIS
Dalam film ini ada beberapa hal yang bisa diangkat yaiut permasalah rasisme dan gank, diskriminasi yang terjadi di dalam dunia pendidikan, ruang kelas yang “menjelma” menjadi rumah hingga pentingnya peranan keluarga.
1. Racist dan Gank
Film The Freedoms Writers ini menampilkan isu ras. Masing-masing ras saling berlomba untuk mendapatkan pengakuan dengan cara bergabung dengan gank dari ras yang sama dan senasib. Pada awal film, ditampilkan bahwa untuk menjadi anggota suatu gank maka ia harus diajarkan kekerasan dengan cara dipukuli beramai-ramai. Tidak hanya di luar sekolah, di dalam sekolah pun sangat terlihat jelas ada batas-batas imajiner yang mengkotak-kotakkan mereka ke dalam area aman “sesama”. Tidak ada seorang pun yang berani melanggar batas-batas tersebut.
Dari salah satu permasalahan yang dihadapi oleh murid-murid Erin, saya mengangkat kisah Eva. Pola pikir Eva mengalami pergeseran, darah Hispanic memang mengalir deras dalam diri Eva. Akan tetapi pada akhirnya Eva memilih untuk berpihak pada kejujuran daripada memberikan kesaksian palsu demi melindungi kelompoknya (ras Hispanic).
2. Diskriminasi Dunia Pendidikan
Ketika Erin kali pertama melihat situasi sekolah, yang dilihatnya adalah adanya perbedaan antara kelas unggulan (didominasi oleh kulit putih, dan hanya ada satu kulit hitam). Pemisahan kelas yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas pemikiran dan stereotip bahwa pada umumnya The Black People , Hispanic, Kamboja, serta ras di luar kulit putih tidak mendapatkan nilai akademis yang tinggi. Menurut Erin, malah hal ini yang menyebabkan mereka tidak bisa bersaing secara sehat dengan The White People dalam bidang akademis.
Akan tetapi yang membuat saya terkejut adalah bahwa kepala sekolah di SMU tersebut adalah The Black People. Hal ini menandakan bahwa ia mendapat kedudukan tersebut karena pandai. Namun, ternyata kepala sekolah tersebut juga tidak mampu berbuat banyak untuk membantu Erin karena berada dalam “bayang-bayang“ anak buahnya yang termasuk dalam ras kulit putih. Satu hal yang juga membuat kecewa adalah perlakuan para guru yang sangat merendahkan murid-murid “terbelakang” di kelas 203. Kebetulan atau tidak, guru-guru tersebut dari golongan ras kulit putih. Seorang pendidik yang seharusnya mengapus batas-batas rasisme malah ikut menyuburkan rasisme. Sungguh ironis.
3. Ruang 203 – Sebuah Keluarga
Dari film ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga non-kulit putih (terutama yang berasal dari kalangan ekonomi bawah) adalah keluarga yang tidak harmonis. Tetapi murid-murid Erin merasa bahwa ruang kelas mereka adalah rumah nyata di mana mereka bisa saling melengkapi dan menghargai satu sama lain. Mereka sudah menganggap bahwa mereka adalah keluarga walaupun berasal dari ras yang berbeda-beda.
Walaupun Erin kehilangan keluarganya (hubungan antara suami dan istri) tetapi ia menciptakan sebuah keluarga baru. Dalam film ini juga tersirat bahwa istri yang terlalu sibuk bekerja melebihi suaminya dianggap sebagai suatu “pelanggaran“. Karena suaminya merasa derajatnya lebih rendah dibanding dengan istrinya.
KOMENTAR
Rasisme di Amerika Serikat memang telah menjadi sesuatu yang inherent (melekat). Setelah tiga puluh tahunan Civil Right Act dikeluarkan, ketegangan rasisme cenderung meningkat dan mencapai titik yang tinggi di kota-kota seperti New York, Boston, dan Chicago. Rasisme telah menciptakan kemiskinan dan menimbulkan masalah-masalah sosial, menjadikan The Black People itu adalah underclasses atau masyarakat kelas bawah.
Sejarah awal rasisme -sebagaimana dilacak M Fredrickson- setidaknya bisa ditelusuri dari Spanyol. Pada abad 12 sampai 13, pengikut Islam, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan. Tetapi di akhir abab 14 dan awal 15, timbulnya konflik dengan orang Moor lalu memercikkan diskriminasi terhadap Islam dan Yahudi. Di sini tampak kebencian yang bersifat sektarian lalu menjadi kebencian yang bersifat rasial dalam bentuk pengusiran. Setelah Spanyol dibersihkan dari orang-orang Yahudi dan Moor, kemudian mulai menjajah “dunia baru“ (Amerika) dan menemukan jenis perbedaan baru yaitu orang-orang primitif dan kurang beradab.
Orang Amerika merasialkan orang lain dan menganggap dirinya paling manusiawi. Puncak supremasi kulit putih itu lalu mencapai perkembangan ideologis yang paling lengkap terjadi di Amerika Serikat bagian Selatan antara tahun 1890 hingga 1950-an. Sementara itu, orang Jerman melengkapi dirinya sendiri dengan identitas rasial sehingga merasa perlu untuk menyingkirkan orang lain dari identitas ras unggul Kaukasia (bangsa Arya) yang memuncak pada tahun 1933 dan 1945.
Tata pikir spesifik posmo adalah : kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. Maka apa yang dilakukan oleh
Pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, teori, image dan realitas. Serta postmodern menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar.
Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh pihak akademisi di sekolah tempat Erin mengajar adalah pemikiran-pemikiran yang ditolak oleh pemikir posmodern. Bagi akademisi tersebut, mengajar adalah sekedar mengajar, tidak perlu memikirkan hubungan pribadi antara guru dan murid. Padalah Erin menalarkan bahwa seorang guru harus memahami kondisi muridnya sebagai pendukung untuk mengajar. Bagi akademisi (guru-guru) lainnya, metode mengajar yang dilakukan Erin adalah metode yang instan dan tidak dapat dipraktekkan secara terus-menerus. Erin menyadari hal itu tetapi ia tetap berusaha untuk selalu memahami muridnya. Ia berhasil merobohkan pemikiran-pemikiran (nalar-nalar) bahwa murid yang termajinalkan tidak akan berubah nasib. Bahwa mereka sudah ditakdirkan untuk selalu emnjadi yang “tertindas“.
Terlepas dari sejarah dan pembahasan mengenai ras dan rasisme, salah satu kisah yang saya soroti tentang tokoh Eva pada film ini adalah mengenai tubuh dan kekuasaan. Pada akhirnya Eva menyadari bahwa dia punya wewenang atas tubuh dan pemikirannya sendiri. Dia tidak lagi menuruti kemauan kelompoknya sebagaimana yang ia lakukan selama ini. Dengan banyaknya pengetahuan yang diberikan gurunya (Erin) tentang kekerasan yang terjadi di banyak tempat, Eva akhirnya menyadari bahwa rasisme adalah sesuatu yang tidak baik. Eva dan teman-teman yang selama ini merasa menjadi kelompok yang termajinalkan di sekolah (karena diletakkan di ruang 203) merasa diri mereka sejajar dengan yang lain karena mereka ternyata bisa membaca buku-buku yang hanya dibaca oleh orang kulit putih.
Untuk menciptakan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain, masyarakat Amerika perlu membangun kesadaran baru tentang rasisme. Erin dalam Freedom Writers berhasil menunjukan bahwa sesungguhnya perbedaan ras bukan halangan bagi seseorang untuk sukses. Mereka yang merasa dimarjinalkan hanyalah suatu bentuk ketakutan (ketidakberdayaan) atas kelompok yang lain. Perlu disadari bahwa seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, rasisme bukanlah sesuatu yang relevan karena yang dibutuhkan untuk membangun suatu bangsa adalah intelektual, bukan warna kulit atau latar belakang ras.
Selain masalah rasisme, kekuasaan juga bukan terletak pada warna kulit melainkan pada intelektual (dalam kasus film ini, di mana pada akhirnya mereka sadar bahwa mereka sederajat dengan kaum kulit putih). Seperti yang dikatakan Foucault, maka murid-murid Erin akhirnya sadar bahwa kekuasaan ada pada mereka sendiri, bahwa dengan memiliki pengetahuan mereka memiliki kekuasaan atas diri (tubuh) mereka sendiri.
Beberapa Sumber :
Best, Steven dan Dauglas Kellner. 2003. Teori Postmodern : Interogasi Kritis. Malang: Boyan Publishing.
Donald, James. 1992. “Race, Culture and Difference“. Thousand Oaks-California : Sage Publications Ltd.
www.freedomwritersfoundation.org
id.wikipedia.org/wiki/Holocaust
http://azzkee.multiply.com/reviews/item/15
Haduh haduh ada satu blog yang aku lupa punya siapa (maaf maaf, thanks dah menginspirasi tata cara penulisan habisnya butek make yang kaku kaku maunya yang ilmiah populer hehehe)
TERNYATA TUGAS UAS TEORI POSTMODERN ASYIK HAHAHA GA KAYA' EPISTEMOLOGI!!!
No comments:
Post a Comment
Bantai tulisanku...