Saturday, November 29, 2008

cantik!

Nunu dan kakaknya -Hanif- sepakat bahwa orang cantik itu setengah perjuangan hidupnya telah selesai. Saya juga ikut ikut sepakat. Misalnya, orang cantik itu kesempatan “to get sumthing”nya lebih besar kan? Melamar pekerjaan, penampilan luar diutamakan pada beberapa jenis pekerjaan. Orang bilang, pandangan pertama akan menentukan langkah selanjutnya. Misalnya lagi, model iklan kosmetik wajah pasti orang yang cantik. Ya iyalah, kalau yang jadi model iklannya orang jelek atau setengah jelek atau setengah cantik bisa dipastikan produk tersebut tidak akan laku. That’s the fact. Apakah itu berarti bahwa orang yang tidak cantik berusaha lebih keras dibanding yang cantik atau sebaliknya? Jawabannya adalah 50%-50%. Tahu kan saya termasuk dalam golongan apa?. Tapi saya bersyukur, yeah, walau terkadang nyesel juga dengan tampang seperti ini. But, what can I do? Hahaha, tenang, sebenarnya saya hanya ingin membahas masalah kecantikan.

Cantik. Terkadang diasosiaikan sebagai putih. Jadi, cantik itu putih. Lihat saja semua produk kecantikan yang menawarkan keputihan [eits, bukan penyakit kewanitaan yah hehehe]. Kata mas Pujo [salah satu dosen Antro UGM],


“Jangan tergiur dengan putih, bersyukurlah dengan kulit yang seperti itu [brown.Red], ga usah pake whitening.


Yeah kurang lebih seperti itulah. Hitam putih itu sama. Tapi kok cowok tidak berpikir seperti itu ya? Ahahaha, saya suka LOBO Antro! Dia hitam manis hahaha... Lala, peace!


Cantik adalah karakteristik pada diri seseorang, tempat, objek, dan ide yang menampilkan pengalaman perseptual dari kesenangan, sifat, atau kepuasan dari pikiran atau pandangan mata (sumbernya ini)


Tahu mbak Nefertiti?

Atau mbak Cleopatra?

Nah, konon kabarnya, mereka itu diklaim sebagai cantik yang sempurna. Bagaimana cantik yang sempurna itu? Seingat saya, kata mbah Phytagoras cantik itu berhubungan dengan kesimetrisan. Simetri tersebut membentuk Golden Ratio.


Nah, kalau membicarakan ini, yang paling saya soroti adalah bentuk hidung yang pasti tidak pesek seperti saya hahaha. Ya iyalah, yang pesek itu manis, yang mancung itu cantik. Seperti kucing Persia, semakin pesek semakin mahal ahaha. Setuju? Yeah, woteva! Okeh, sebenarnya dari tulisan ini bisa digali lagi cantik dari berbagai perspektif, hanya saja, saya tidak akan membicarakan itu. Ketertarikan saya bukan pada the body dengan segala macam pernak pernik luarnya. Mungkin saya lebih tertarik ke pembangunan, kemiskinan, dan lingkungan. Hahaha sok ngomongin antropologi ayayay... Neh tulisan cuma iseng doang...


P.S : Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan, putus asa adalah dosa! Kata tabib muda Abdul Jafar [ahli pengobatan alternatif hahaha, teringat iklan ini di salah stasiun radio kota Palembang]

-jerawatan, sumpek, tugas numpuk, kangen, putus asa, GILA!!! Peace!




Thursday, November 20, 2008

Essenza [Tugas Sekolah Menulis - Fiction Session]

Kulirik jam beker di atas meja belajar. Pukul 5 pagi. Kiki menggedor-gedor pintu kamarku, “Bangun! Ibu telpon nih!’’. Oh ternyata ada telpon dari seberang pulau sana –di mana aku selalu merindukan yg terkasih-. Terdengar suara dari tempat yang teramat jauh, "Lagi apa? Kapan pulang? Yan, ini baru diam-diam sih... Ada tawaran kerja di Pertamina ngegantiin orang yang pensiun. Infonya langsung dari beliau. Pake ijazah SMU kamu bisa, tapi kalo mau pake yang DIII juga buru dikirim kopiannya ke sini -Palembang-. Bla bla bla”. Selanjutnya aku tidak mendengar dengan jelas, aku sibuk mengusap bulir-bulir kecil hangat yang merambat turun. Aku mengiyakan dengan nada tegar, "Iya bu, berapa gajinya? Ya ntar Rian kirim...".

Kiki -yang dari tadi tak kulihat karena aku terpejam- lalu mengambil handphone dariku dan melanjutkan pembicaraan mengenai pulang mudik nanti. Aku? Aku langsung membenamkan kepala di bawah bantal -berbentuk tulang, kado ulang tahun dari sahabat G2- sembari terus-terusan mewek. Setelah pembicaraan mereka usai, Kiki bertanya berulang-ulang, "Yuk, kok nangis?". Diam. Aku diam, terisak. Terbayang baru saja kemarin aku membangun pilar-pilar semangat untuk menjadi seorang antropolog wanita Indonesia. Baru saja semalam aku menggarap tugas Metode Penelitian Etnografi dengan SANGAT SANGAT BERSEMANGAT. Salah satu faktornya adalah dia, aku tersenyum kecil membayangkannya. Matanya.

Tak tega membiarkan adikku bertanya tanpa mendapat jawaban, lalu aku berkata singkat dan datar, "Ntar Ki, ga bisa ngomong" sembari terisak-isak. Entah dia dengar atau tidak. Aku masih membenamkan wajahku di balik bantal dan merasakan bahwa dia sudah keluar dari kamarku. Aku? Aku tak membiarkan diriku berbaring di atas kasur terepes dingin itu! Aku langsung mandi, keramas. Ada suara dari luar kamar mandi, "Yuk, kau kenapa?". Singkat aku jawab, "Mandi". Kutuntaskan mandiku dengan ritual mengambil air suci. Hendak mengadu pada Tuhan, jika diizinkan (baca : insya Alloh).
Kulirik ijazah DIII yang teronggok tak berdaya di atas rak buku. Gara-gara aku nge-double kuliah dan telah menyelesaikan salah satunya, bukan berarti aku bisa menarik nafas panjang. Pernah aku ditawari pekerjaan tapi aku tolak dengan alasan perbedaan orientasi. Pekerjaan yang ditawarkan pasti akan banyak duduk, idealnya aku ingin keliling sebagai field worker. Itulah mengapa aku men-double kuliah. Banyak yang bilang bahwa apa yang kulakukan adalah kegilaan. Tak peduli. Tidak adil rasanya, disaat banyak yang mencari kerja aku malah menolak mentah-mentah kesempatan itu. Tapi disaat pilar-pilar semangat untuk kuliah berdiri kokoh, pilar-pilar itu hancur dalam hitungan detik! Terbayang iklan Essenza, pion-pion catur raksasa yang berjatuhan satu-persatu kemudian hancur. Padahal nampanya pion-pion itu besar dan kokoh. Aaah, nafasku kurang panjang rupanya.

Teringat aku pada impian-impian busuk masa sekolah dulu, kuliah dan menjalani hidupku -my own life- sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa paksaan. Ibu dulu ingin aku jadi dokter umum atau dokter gigi-lah, minimal. Aku iyakan. Bapak dulu ingin aku jadi ambassador. Aku iyakan. Semuanya tidak ada yang tercapai, karena ternyata jauh di dalam lubuk hati, I said NO!. Alasan yang sangat sederhana, bukan? Tapi, kali ini rasanya aku ingin memohon pengertian dan restu ibu bapak untuk melangkah. Meminta sebentuk keikhlasan yang sangat tulus dari mereka sebagai pondasi pilar-pilar semangatku. Menggapai apa yang ingin aku raih. Tapi aku tidak punya kekuasaan untuk berkata tidak, aku masih menyusu pada mereka, mereka punya otoritas atasku. Aaah…

Sekarang aku ada di sini, entah untuk berapa lama. Mungkin sebentar lagi akan kutinggalkan kota berhati nyam-nyam ini. Kulempar jauh pandanganku ke utara, berharap pemandangan gunung di pagi hari dapat kunikmati hari ini. Nihil. Sepasang suami istri penguasa daerah utara itu belum menampakkan diri. Mungkin mereka masih berpelukan, mengusir dinginnya pagi. Kulemparkan pandanganku ke bawah jembatan, seorang lelaki tua duduk menenggelamkan sepersekian bagian pantatnya ke dalam air sembari merokok. Dunia adalah surga baginya. Lalu kuikuti langkah demi langkah para pekerja pagi. Menuju tempat transaksi ekonomi ke arah barat Tugu, sembari berkhayal, jika ada yang bertanya, apa yang paling ngangenin dari Jogja, akan kujawab, “Tidak ada’’. Jika ada yang bertanya, apa yang ngangenin dari Jogja, akan kujawab ,“Semuanya’’. Ah, bulir-bulir itu merambat turun lagi. Pandanganku mengabur, dingin sekali pagi ini.


P.S : sekarang aku di sini, di Jogja lagi, sungguh ga ada yang perlu disesalkan, semuanya adalah pelajaran, dan kenangan, cerita ini aku ambil dari blog lama, sebagai tugas sekolah menulis sesi fiksi... thx juga buat Adis yang dulu harus kucium paksa sewaktu mengantar kepulanganku ke Palembang, neh anak emang bener-bener bikin kangen, thx ya teman-teman (Adis, Echy, Ory, Nunu, kak Bukh)...

Wednesday, November 19, 2008

Learn from Spiderwick

Sumpah ga sengaja nonton film ini (dipinjemin adekku QQ). Sumpah ini lebih mirip film Harry Potter (dari segi penamaan makhluk-makhluknya). Sumpah aku mendapati banyak hal yang terkait dengan antropologi. Sumpah kamu harus nonton filmnya. Tapi sumpah, lebih baek kamu baca dulu tulisanku berikut :

Spiderwick, seorang ilmuwan (entahlah tapi sepertinya iya) mengamati dan mempelajari makhluk-makhluk aneh (baca : luar biasa). Cerita ini memang fiktif belaka. Akan tetapi ada beberapa poin yang saya “tangkap” dari sekelumit kisah tersebut, di antaranya :

  1. Spiderwick mencoba mengamati dan mempelajari apa yang ingin diketahui olehnya. Tidak hanya mengamati, sepenangkapan saya Spiderwick juga mencoba untuk memahami nilai-nilai yang ada dalam “komunitas” tersebut.
  2. Hasil pengamatannya dituangkan dalam sebuah buku “keramat” yang dianggap sebagai hidupnya. Wajar, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengguratkan huruf demi huruf, gambar demi gambar, simbol demi simbol, hingga mantra dan berbagai ramuan, yang beberapa d antaranya digunakan sebagai pengetahuan untuk menangkal sesuatu yang jahat. Penuangan “pengalaman” tersebut melalui simbol-simbol dilakukan (pastinya) untuk mempermudah pemahaman orang lain dalam membaca hasil karyanya. Juga untuk “mempertegas” apa yang dia maksud dalam tulisannya.
  3. Usaha pengamatan tersebut tidaklah mudah. Dia harus bersabar, untuk menjadi “teman” dari setiap makhluk yang diteliti. Terkadang juga dia harus berusaha untuk memahami “bahasa” yang digunakan oleh makhluk-makhluk aneh (baca : luar biasa). Misalnya, dia harus memahami bahasa Griffin (burung berkepala singa) untuk dapat menjadikannya hewan peliharaan (sekaligus teman).
  4. Setelah menuangkan semua pengalamannya ke dalam buku tersebut, dia memberikan peringatan kepada pembacanya. Bahwa buku itu berbahaya, banyak pihak yang ingin mengetahui “the secret of the life”. Tentu saja bukan kehidupan Spiderwick tetapi kehidupan makhluk-makhluk aneh (baca : luar biasa) tersebut. Dia berusaha menjaga agar buku tersebut tetap aman dalam “lingkaran”. Dengan kata lain ia ingin menjaga nilai-nilai yang ada untuk perlindungan “keselamatan” mereka.
  5. Setelah ada seseorang yang “nekat” melanggar peringatan tersebut dan meminta pertolongan Spiderwick, ia berkata bahwa dirinya (Spiderwick) tidak bisa membantu apa-apa. Karena semua “pengetahuan” itu kini telah “berpindah” kepada si pembaca.

Ada benang merah antara apa yang dilakukan oleh Spiderwick dengan para antropolog, antara lain yaitu :

  1. Tak ubahnya dengan seorang antropolog, Spiderwick tidak hanya mencoba mengamati, akan tetapi juga memahami dan menjaga nilai-nilai yang ada pada pelaku kebudayaan (saya sebut kebudayaan karena saya seorang calon antropolog – cuih bahasanya bikin eneg hahaha).
  2. Sebelum terlambat dilibas masa, pembuatan catatan etnografis (buku haRIAN – kata mas Pujo sih buku monyet karena bentuknya yang kecil dan bisa diselipkan ke dalam saku) adalah langkah penyelamatan data juga sebagai alat “pembelaan” terhadap nilai-nilai yang ada pada diri penulisnya. Penggunaan gambar dan simbol juga hal yang sangat penting karena terkadang tidak cukup melukiskan sesuatu hanya dengan tulisan dan membiarkan pembaca berimajinasi “membangun” sebuah gambaran yang belum tentu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si penulis. Sekarang catatan etnografis bisa dipermudah dengan memasukkan foto (yang diambil dari kamera digital) untuk mendukung tulisan. Sebuah catatan etnografis juga merupakan “nyawa” bagi si penulis karena semua yang dia ketahui “harus” dituangkan ke dalamnya.
  3. Tidaklah etis meneliti (para antropolog dan calon antropolog tolong dibaca : mengamati) suatu masyarakat atau suku bangsa dengan tidak menjadi “teman”, seseorang yang dapat dipercaya. Sebenarnya, bisa saja melakukan penelitian dengan tidak menjadi teman mereka. Akan tetapi terkadang jika ingin mendapatkan sesuatu yang bersifat mendalam, kita mau tidak mau “harus” menjadi temannya. Akan tetapi keterlibatan terlalu jauh dalam hal perasaan, bisa menjebak kita ke dalam perspektif emik. Tentunya hal ini agak sedikit “berbahaya”. Sesuatu itu akan menjadi baik jika sesuai dengan kadarnya, jika kurang atau bahkan berlebih maka tidak akan menjadi sesuatu yang “pas”. Ingat bahwa kita juga mempunyai nilai-nilai yang harus dipegang. Oke, kembali ke pembahasan “menjadi teman”. Totalitas kehidupan manusia sebagai kajian antropologi dikaji oleh perspektif fenomenologi. Bahwa di balik fenomena yang kasat mata ternyata ada bagian-bagian tertentu yang mendalam dan hanya dapat digali melalui pengakuan-pengakuan subjek budaya (noumena). Ingat bahwa “mereka” bukanlah objek tetapi subjek. They do something. Bagaimana kita bisa mendapatkan pengakuan-pengakuan “terpendam” dari mereka jika kita tidak melakukan personal approach dan langsung main “tembak”? Etika. Saya tidak bermaksud untuk emngatakan bahwa pertemanan adalah suatu hal yang mutlak. You can think about it more than me (oh sial pake bahasa apa aku tadi???). Bahasa? Oh sepertinya saya lupa membahas item bahasa dalam kaitannya dengan poin 3 di atas. Oke, memahami bahasa pelaku budaya adalah penting. Akan tetapi saya tidak setuju dengan pendapat mbah Malinowski yang mengatakan bahwa kita (peneliti) harus mempelajari bahasa mereka (baca : subjek budaya) dengan baik barulah merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan dengan “kondisi” mereka. God, saya tahu bahwa dulu mbah Malinowski mengalami kesulitan dalam mengamati (entah, saya mulai sedikit muak -tidak suka- dengan kata meneliti, ada kesan yang “tidak baik” di dalamnya, I think) suku Trobian di Andaman. Mbah Malinowski sempat “merajuk” karena kendala bahasa tersebut. Menurut hemat saya, wajar saja karena yang beliau teliti adalah suku terasing. Zaman mbah Malinowski juga sudah terlampau jauh dengan waktu sekarang. Sekarang antropologi bergerak, tidak hanya mengamati suku terasing tapi juga masyarakat modern (persetan mereka yang bialang kalo kerjaan antropolog itu berkutat pada suku terasing yang sama sekali primitif! How dare you!). Seiring dengan revolusi antropologi itu, kendala bahasa bukan sesuatu yang boleh ditakuti lagi (including me). Tahu alasannya? Karena pada beberapa kasus, kita dapat menggunakan bahasa nasional atau bahkan internasional untuk berkomunikasi. Ingat bahwa saya tadi mengatakan bahwa antropologi bergerak. Got it? Kemudian, jika pendapat mbah Malinowski (sumpah saya tidak bermaksud lancang terhadapmu, mbah) saya benarkan, maka hal pertama yang harus dilakukan untuk mengamati adalah mempelajari bahasa (huaaah agak berat bagi saya) maka saya mematahkan perkataan beberapa dosen yang mengatakan bahwa awal dari sebuah pengamatan (oke, kalian boleh baca : penelitian) adalah pertanyaan. Apa yang terbayang di benak saya adalah begini : saya berangkat ke Jepang (misalnya) untuk mengadakan pengamatan dan yang harus saya takutkan adalah perbedaan bahasa. Saya tiba di tanah Jepang (pengen banget dari dulu hiks, sabar) tanpa menggenggam sebuah pertanyaan. Lantas apa yang harus saya lakukan??? Better to sleep tight on the bed! Apalagi bahasa Jepang tidak hanya bunyi, tetapi juga simbol (kanji hiragana katakana) yang tidak akan pernah saya hapalkan semuanya! Lain halnya jika saya tiba dengan menggenggam sebuah pertanyaan. Maka langkah saya selanjutnya akan tertuju pada “sesuatu” yang “mungkin” bisa menjawab pertanyaan saya. Ingat bahwa ada kekuatan mengamati yang mungkin tidak dimiliki oleh non-antropolog. Dari pengamatan kita dapat “menceritakan” sesuatu. Jika ingin lebih mendalam, maka kita butuh bahasa. So, so far apakah kamu mendapatkan apa yang saya maksudkan? Tidak??? Oh nooo! Apakah saya terlalu berbelat-belit??? Oke, begini, bahwasannya saya tidak setuju bahwa kita harus berangkat dari keinginan untuk “mendalami” bahasa dan bukannya merumuskan suatu pertanyaan. Semoga saya tidak terlalu berapi-api. Ingat, saya tidak mengatakan bahwa kemampuan berbahasa itu tidak penting. Of course it’s important, tapi pada kondisi yang seperti apa? Pembahasan poin 3 ini teramat sangat panjang sekali!
  4. Peringatan bahaya yang diberikan oleh Spiderwick juga harus dipahami oleh peneliti. Bahaya di sini dimaksudkan sebagai “the secret” yang dipahami sebagai kekayaan noumena. Ada nilai-nilai yang harus dijaga. Diilhami oleh Nunu, maka saya juga akan menjawab, “Oh antropologi itu ilmu menjajah, untuk pertanyaan “Eh, apa sih antropologi tuh? Nggali situs ya? Mempelajari suku terasing ya???”. Juga untuk sederetan pertanyaan yang berhubungan darah (bersaudara-bertalian) dengan itu. Berangkat dari awalnya disiplin antropologi (jika saya sebut ilmu antropologi maka saya bodoh, anthropos dan logos = ilmu manusia, ilmu antropologi = ilmu ilmu manusia) sebagai “alat” untuk mempelajari bangsa lain kemudian dijajah, semoga antropolog sekarang lebih bijak dalam menerapkan tujuan pengamatannya. Jika untuk tujuan baik, silahkan, go ahead, tapi jika untuk tujuan jahat, please don’t do that! Apa sih RIAN nih???
  5. Pengetahuan yang berpindah dari Spiderwick ke si pembaca buku keramat, mengindikasikan bahwa apapun yang akan dilakukan setelah membacanya sepenuhnya menjadi hak si pembaca. Maka dari itu, jadilah pembaca yang bijak (buat saya juga hahaha). Juga, bukan berarti setelah membaca maka semua pengetahuan dirasa cukup. Kata mas Pujo, semakin banyak membaca, bukan semakin banyak tahu tapi semakin bodoh (baca : ingin tahu). Tidak berarti bahwa sebuah pengamatan yang sudah pernah dilakukan tidak berpotensi untuk dikaji ulang, semakin banyak pengkajian, semakin akan menjadi menarik. Haduh haduh, bukan juga berarti kita tidak boleh melakukan pengamatan lain. Sebenarnya ini ditujukan untuk saya. Saya memilih tema yang pernah dilakukan oleh orang lain akan tetapi saya meyakinkan bahwa : lain ladang lain belalang hehehe...

Sepenggal pelajaran dari film Spiderwick (maaf lupa judul lengkapnya hahaha)...


P.S : kebudayaan yang tidak diperhatikan sekarang mungkin esok sudah hilang tanpa meninggalkan jejak... Huek! Sok puitis!

Wednesday, November 12, 2008

Samp-AH!




Begini ceritanya. Ga mau tau ya? Bodo', blog ini diklaim sebagai blogku koq ;p

Hari Senin yang lalu aku dan Lala memutuskan untuk ke Sanggar di Minomartani. Apa itu Sanggar? Sanggar adalah tempat pemberdayaan "sampah" [CMIIW]. Setiba di sana, kami bertemu pak Wisnu [pemberdaya] dan "sedikit" bercerita masalah sampah [ya apalagi?] serta pembuatan kompos dengan teknologi aerob. Awalnya beliau bertanya padaku apa maksud dan tujuan kedatangan kami. Aku menjawab :

"Cuma mau nitip botol-botol ini pak..."

Aih, di tempat itu kami "dibantai" tentang permasalahan sampah. Tapi mohon jangan dibayangkan pembantaian kaum Yahudi yang dilakukan oleh Nazi yap! Pembantaian ini "mengajari" kami tentang sampah. Aku mendiskusikan masalah penggunaan plastik oleh orang-orang. Kemudian pak Wisnu bilang :

"Kamu ga bisa melarang orang nggunain plastik. Coba kalo ga ada plastik, apa-apa harus pake logam, kan mahal..."

DOOOR!!!

Ga maksud seperti itu, sungguh... Kemudian aku melakukan pembelaan diri dengan berkata :

"Saya ga melarang mereka untuk make' plastik. Orang saya cuma nulis tentang banyaknya plastik yang saya gunakan dan mulai mengurangi pemakaiannya kok pak..."

Kemudian dijawab lagi oleh beliau :

"Kalo cuma kamu, 1 orang, ya ga ada artinya..."

Saya bingung dan bertanya dengan polos :

"Lho, kalo cuma saya trus ga ada artinya, jadi kalo saya nulis pengalaman saya itu -lalu dibaca oleh khalayak- apa saya salah pak?"

Kemudian [lagi] beliau menjawab :

"Nah kalo gitu boleh, nulis biar orang tau..."

Ealah... Dari awal juga aku bilangnya bukan order u to stop using plastic... Huahaha... Bukan berarti yang mengurangi penggunaan plastik cuma aku aja [mustahil banget]. Kamu tau? Seorang Fiit juga mengurangi penggunaan plastik, Lala juga pernah berkata pada pramuniaga toko :

"Saya juga ga pake plastik mas..."

See? It's not just me... Trus apa sih intinya?

Intinya adalah, kami sadar bahwa sesungguhnya ga ada yang salah dengan sampah. Kesalahan ada pada menungso-ne [benul ga ya nulisnya? wakaka]... Sekali lagi, bukan berarti aku aktifis lingkungan yang selalu menggembar-gemborkan buat nyetop pemanasan global. Aku cuma pengen berbagi [kasih, lho?!!!] pengalaman.

Nah, keluar dari topik plastik dan sampah... Pertanyaanku adalah :

"Bisakah kita nyetop global warming?"

Kalo jawabanku :

GA BISA

Tapi ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memperlambat kerusakan... Sekali lagi, I just want to share...

-ngantuuuk_

Sunday, November 9, 2008

PR Sekolah Menulis -1

Sinting! Aku tuh ga ada habis-habisnya berpindah-pindah minat. Tapi menurutku wajar, mumpung masih muda [yakin?!]. Dulu aku hampir minat di kepariwisataan, sekarang ke lingkungan. Backgroundku kesehatan tapi aku kuliah di Antro trus minatnya ke lingkungan. Hmm, butuh waktu untuk mengkaitkan semuanya. Kata bang Anes aku idealis hahaha...

Oke, begini. Minggu lalu aku dapet tugas mbuat tulisan 3 halaman dan aku memutuskan [tiba-tiba] untuk menulis tentang sampah plastik. Isinya kira-kira terdiri atas :
  1. Kejadian mencari harta karun [baca : sampah] di pekarangan kost Adis yang dikubur di dalam tanah [mang bisa ngubur di aer? ntu namanya nenggelemin]. Waktu itu kami mau mengubur anak kucing yang mati.
  2. Pengalaman masa lalu tentang penguburan dan pembakaran sampah rumah tangga. Sampah yang ga habis dibakar dikubur sama bapak. Sampah yang habis dibakar [baca : dedaunan] "dimusnahkan" di tempat yang berpindah-pindah biar semua pekarangan jadi tanah yang subur.
  3. Cerita tentang "aksi" penyelamatan lingkungan oleh beberapa toko dengan cara "membujuk" pelanggan agar mengurangi penggunaan plastik -belanj aan-.
  4. Cerita tentang aku yang dianggap aneh kalo mbawa belanjaan tanpa tas plastik -dianggep ngutil kali ya-.
  5. Makna di balik fakta yang belum aku tuntaskan, yaitu motif lain dari toko tersebut. MUNGKIN ada motif ekonomi, bukan hanya motif penyelamatan lingkungan.
Aih, ntar deh aku posting tulisanku itu. Janji, next week juga bakal mosting tulisan kedua tentang "Pemanfaatan Teknologi yang Tidak Habis Didaur Ulang".

Gambar-gambar :



Merah : sampah galian, Oranye : kuburan Pussy


"Kesepian", Depok Bitch (Beach) - Foto bonus




"Angin, bawalah aku", Depok Bitch (Beach) - Foto bonus

P.S : nuwun sanget buat Lala dan kak Putu.

-sumpah ngantuk!_

aih aih aih aih aih aih aih . . . . . . .

Aih, akhirnya kecapai juga punya blog baru. Ini ga ada kaitannya dengan "insiden" di Sekolah Menulis. Dari dulu emang udah pengen "pindah" tapi berhubung blog yang lalu terlalu berharga untuk "dibuang" maka aku memutuskan untuk tetap menggunakan keduanya. Hanya dibedakan isinya saja...

-menarik napas panjang, ditahan, kentut deh heeheehee_