Wednesday, November 19, 2008

Learn from Spiderwick

Sumpah ga sengaja nonton film ini (dipinjemin adekku QQ). Sumpah ini lebih mirip film Harry Potter (dari segi penamaan makhluk-makhluknya). Sumpah aku mendapati banyak hal yang terkait dengan antropologi. Sumpah kamu harus nonton filmnya. Tapi sumpah, lebih baek kamu baca dulu tulisanku berikut :

Spiderwick, seorang ilmuwan (entahlah tapi sepertinya iya) mengamati dan mempelajari makhluk-makhluk aneh (baca : luar biasa). Cerita ini memang fiktif belaka. Akan tetapi ada beberapa poin yang saya “tangkap” dari sekelumit kisah tersebut, di antaranya :

  1. Spiderwick mencoba mengamati dan mempelajari apa yang ingin diketahui olehnya. Tidak hanya mengamati, sepenangkapan saya Spiderwick juga mencoba untuk memahami nilai-nilai yang ada dalam “komunitas” tersebut.
  2. Hasil pengamatannya dituangkan dalam sebuah buku “keramat” yang dianggap sebagai hidupnya. Wajar, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengguratkan huruf demi huruf, gambar demi gambar, simbol demi simbol, hingga mantra dan berbagai ramuan, yang beberapa d antaranya digunakan sebagai pengetahuan untuk menangkal sesuatu yang jahat. Penuangan “pengalaman” tersebut melalui simbol-simbol dilakukan (pastinya) untuk mempermudah pemahaman orang lain dalam membaca hasil karyanya. Juga untuk “mempertegas” apa yang dia maksud dalam tulisannya.
  3. Usaha pengamatan tersebut tidaklah mudah. Dia harus bersabar, untuk menjadi “teman” dari setiap makhluk yang diteliti. Terkadang juga dia harus berusaha untuk memahami “bahasa” yang digunakan oleh makhluk-makhluk aneh (baca : luar biasa). Misalnya, dia harus memahami bahasa Griffin (burung berkepala singa) untuk dapat menjadikannya hewan peliharaan (sekaligus teman).
  4. Setelah menuangkan semua pengalamannya ke dalam buku tersebut, dia memberikan peringatan kepada pembacanya. Bahwa buku itu berbahaya, banyak pihak yang ingin mengetahui “the secret of the life”. Tentu saja bukan kehidupan Spiderwick tetapi kehidupan makhluk-makhluk aneh (baca : luar biasa) tersebut. Dia berusaha menjaga agar buku tersebut tetap aman dalam “lingkaran”. Dengan kata lain ia ingin menjaga nilai-nilai yang ada untuk perlindungan “keselamatan” mereka.
  5. Setelah ada seseorang yang “nekat” melanggar peringatan tersebut dan meminta pertolongan Spiderwick, ia berkata bahwa dirinya (Spiderwick) tidak bisa membantu apa-apa. Karena semua “pengetahuan” itu kini telah “berpindah” kepada si pembaca.

Ada benang merah antara apa yang dilakukan oleh Spiderwick dengan para antropolog, antara lain yaitu :

  1. Tak ubahnya dengan seorang antropolog, Spiderwick tidak hanya mencoba mengamati, akan tetapi juga memahami dan menjaga nilai-nilai yang ada pada pelaku kebudayaan (saya sebut kebudayaan karena saya seorang calon antropolog – cuih bahasanya bikin eneg hahaha).
  2. Sebelum terlambat dilibas masa, pembuatan catatan etnografis (buku haRIAN – kata mas Pujo sih buku monyet karena bentuknya yang kecil dan bisa diselipkan ke dalam saku) adalah langkah penyelamatan data juga sebagai alat “pembelaan” terhadap nilai-nilai yang ada pada diri penulisnya. Penggunaan gambar dan simbol juga hal yang sangat penting karena terkadang tidak cukup melukiskan sesuatu hanya dengan tulisan dan membiarkan pembaca berimajinasi “membangun” sebuah gambaran yang belum tentu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si penulis. Sekarang catatan etnografis bisa dipermudah dengan memasukkan foto (yang diambil dari kamera digital) untuk mendukung tulisan. Sebuah catatan etnografis juga merupakan “nyawa” bagi si penulis karena semua yang dia ketahui “harus” dituangkan ke dalamnya.
  3. Tidaklah etis meneliti (para antropolog dan calon antropolog tolong dibaca : mengamati) suatu masyarakat atau suku bangsa dengan tidak menjadi “teman”, seseorang yang dapat dipercaya. Sebenarnya, bisa saja melakukan penelitian dengan tidak menjadi teman mereka. Akan tetapi terkadang jika ingin mendapatkan sesuatu yang bersifat mendalam, kita mau tidak mau “harus” menjadi temannya. Akan tetapi keterlibatan terlalu jauh dalam hal perasaan, bisa menjebak kita ke dalam perspektif emik. Tentunya hal ini agak sedikit “berbahaya”. Sesuatu itu akan menjadi baik jika sesuai dengan kadarnya, jika kurang atau bahkan berlebih maka tidak akan menjadi sesuatu yang “pas”. Ingat bahwa kita juga mempunyai nilai-nilai yang harus dipegang. Oke, kembali ke pembahasan “menjadi teman”. Totalitas kehidupan manusia sebagai kajian antropologi dikaji oleh perspektif fenomenologi. Bahwa di balik fenomena yang kasat mata ternyata ada bagian-bagian tertentu yang mendalam dan hanya dapat digali melalui pengakuan-pengakuan subjek budaya (noumena). Ingat bahwa “mereka” bukanlah objek tetapi subjek. They do something. Bagaimana kita bisa mendapatkan pengakuan-pengakuan “terpendam” dari mereka jika kita tidak melakukan personal approach dan langsung main “tembak”? Etika. Saya tidak bermaksud untuk emngatakan bahwa pertemanan adalah suatu hal yang mutlak. You can think about it more than me (oh sial pake bahasa apa aku tadi???). Bahasa? Oh sepertinya saya lupa membahas item bahasa dalam kaitannya dengan poin 3 di atas. Oke, memahami bahasa pelaku budaya adalah penting. Akan tetapi saya tidak setuju dengan pendapat mbah Malinowski yang mengatakan bahwa kita (peneliti) harus mempelajari bahasa mereka (baca : subjek budaya) dengan baik barulah merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan dengan “kondisi” mereka. God, saya tahu bahwa dulu mbah Malinowski mengalami kesulitan dalam mengamati (entah, saya mulai sedikit muak -tidak suka- dengan kata meneliti, ada kesan yang “tidak baik” di dalamnya, I think) suku Trobian di Andaman. Mbah Malinowski sempat “merajuk” karena kendala bahasa tersebut. Menurut hemat saya, wajar saja karena yang beliau teliti adalah suku terasing. Zaman mbah Malinowski juga sudah terlampau jauh dengan waktu sekarang. Sekarang antropologi bergerak, tidak hanya mengamati suku terasing tapi juga masyarakat modern (persetan mereka yang bialang kalo kerjaan antropolog itu berkutat pada suku terasing yang sama sekali primitif! How dare you!). Seiring dengan revolusi antropologi itu, kendala bahasa bukan sesuatu yang boleh ditakuti lagi (including me). Tahu alasannya? Karena pada beberapa kasus, kita dapat menggunakan bahasa nasional atau bahkan internasional untuk berkomunikasi. Ingat bahwa saya tadi mengatakan bahwa antropologi bergerak. Got it? Kemudian, jika pendapat mbah Malinowski (sumpah saya tidak bermaksud lancang terhadapmu, mbah) saya benarkan, maka hal pertama yang harus dilakukan untuk mengamati adalah mempelajari bahasa (huaaah agak berat bagi saya) maka saya mematahkan perkataan beberapa dosen yang mengatakan bahwa awal dari sebuah pengamatan (oke, kalian boleh baca : penelitian) adalah pertanyaan. Apa yang terbayang di benak saya adalah begini : saya berangkat ke Jepang (misalnya) untuk mengadakan pengamatan dan yang harus saya takutkan adalah perbedaan bahasa. Saya tiba di tanah Jepang (pengen banget dari dulu hiks, sabar) tanpa menggenggam sebuah pertanyaan. Lantas apa yang harus saya lakukan??? Better to sleep tight on the bed! Apalagi bahasa Jepang tidak hanya bunyi, tetapi juga simbol (kanji hiragana katakana) yang tidak akan pernah saya hapalkan semuanya! Lain halnya jika saya tiba dengan menggenggam sebuah pertanyaan. Maka langkah saya selanjutnya akan tertuju pada “sesuatu” yang “mungkin” bisa menjawab pertanyaan saya. Ingat bahwa ada kekuatan mengamati yang mungkin tidak dimiliki oleh non-antropolog. Dari pengamatan kita dapat “menceritakan” sesuatu. Jika ingin lebih mendalam, maka kita butuh bahasa. So, so far apakah kamu mendapatkan apa yang saya maksudkan? Tidak??? Oh nooo! Apakah saya terlalu berbelat-belit??? Oke, begini, bahwasannya saya tidak setuju bahwa kita harus berangkat dari keinginan untuk “mendalami” bahasa dan bukannya merumuskan suatu pertanyaan. Semoga saya tidak terlalu berapi-api. Ingat, saya tidak mengatakan bahwa kemampuan berbahasa itu tidak penting. Of course it’s important, tapi pada kondisi yang seperti apa? Pembahasan poin 3 ini teramat sangat panjang sekali!
  4. Peringatan bahaya yang diberikan oleh Spiderwick juga harus dipahami oleh peneliti. Bahaya di sini dimaksudkan sebagai “the secret” yang dipahami sebagai kekayaan noumena. Ada nilai-nilai yang harus dijaga. Diilhami oleh Nunu, maka saya juga akan menjawab, “Oh antropologi itu ilmu menjajah, untuk pertanyaan “Eh, apa sih antropologi tuh? Nggali situs ya? Mempelajari suku terasing ya???”. Juga untuk sederetan pertanyaan yang berhubungan darah (bersaudara-bertalian) dengan itu. Berangkat dari awalnya disiplin antropologi (jika saya sebut ilmu antropologi maka saya bodoh, anthropos dan logos = ilmu manusia, ilmu antropologi = ilmu ilmu manusia) sebagai “alat” untuk mempelajari bangsa lain kemudian dijajah, semoga antropolog sekarang lebih bijak dalam menerapkan tujuan pengamatannya. Jika untuk tujuan baik, silahkan, go ahead, tapi jika untuk tujuan jahat, please don’t do that! Apa sih RIAN nih???
  5. Pengetahuan yang berpindah dari Spiderwick ke si pembaca buku keramat, mengindikasikan bahwa apapun yang akan dilakukan setelah membacanya sepenuhnya menjadi hak si pembaca. Maka dari itu, jadilah pembaca yang bijak (buat saya juga hahaha). Juga, bukan berarti setelah membaca maka semua pengetahuan dirasa cukup. Kata mas Pujo, semakin banyak membaca, bukan semakin banyak tahu tapi semakin bodoh (baca : ingin tahu). Tidak berarti bahwa sebuah pengamatan yang sudah pernah dilakukan tidak berpotensi untuk dikaji ulang, semakin banyak pengkajian, semakin akan menjadi menarik. Haduh haduh, bukan juga berarti kita tidak boleh melakukan pengamatan lain. Sebenarnya ini ditujukan untuk saya. Saya memilih tema yang pernah dilakukan oleh orang lain akan tetapi saya meyakinkan bahwa : lain ladang lain belalang hehehe...

Sepenggal pelajaran dari film Spiderwick (maaf lupa judul lengkapnya hahaha)...


P.S : kebudayaan yang tidak diperhatikan sekarang mungkin esok sudah hilang tanpa meninggalkan jejak... Huek! Sok puitis!

No comments:

Post a Comment

Bantai tulisanku...