Kiki -yang dari tadi tak kulihat karena aku terpejam- lalu mengambil handphone dariku dan melanjutkan pembicaraan mengenai pulang mudik nanti. Aku? Aku langsung membenamkan kepala di bawah bantal -berbentuk tulang, kado ulang tahun dari sahabat G2- sembari terus-terusan mewek. Setelah pembicaraan mereka usai, Kiki bertanya berulang-ulang, "Yuk, kok nangis?". Diam. Aku diam, terisak. Terbayang baru saja kemarin aku membangun pilar-pilar semangat untuk menjadi seorang antropolog wanita Indonesia. Baru saja semalam aku menggarap tugas Metode Penelitian Etnografi dengan SANGAT SANGAT BERSEMANGAT. Salah satu faktornya adalah dia, aku tersenyum kecil membayangkannya. Matanya.
Tak tega membiarkan adikku bertanya tanpa mendapat jawaban, lalu aku berkata singkat dan datar, "Ntar Ki, ga bisa ngomong" sembari terisak-isak. Entah dia dengar atau tidak. Aku masih membenamkan wajahku di balik bantal dan merasakan bahwa dia sudah keluar dari kamarku. Aku? Aku tak membiarkan diriku berbaring di atas kasur terepes dingin itu! Aku langsung mandi, keramas. Ada suara dari luar kamar mandi, "Yuk, kau kenapa?". Singkat aku jawab, "Mandi". Kutuntaskan mandiku dengan ritual mengambil air suci. Hendak mengadu pada Tuhan, jika diizinkan (baca : insya Alloh).
Kulirik ijazah DIII yang teronggok tak berdaya di atas rak buku. Gara-gara aku nge-double kuliah dan telah menyelesaikan salah satunya, bukan berarti aku bisa menarik nafas panjang. Pernah aku ditawari pekerjaan tapi aku tolak dengan alasan perbedaan orientasi. Pekerjaan yang ditawarkan pasti akan banyak duduk, idealnya aku ingin keliling sebagai field worker. Itulah mengapa aku men-double kuliah. Banyak yang bilang bahwa apa yang kulakukan adalah kegilaan. Tak peduli. Tidak adil rasanya, disaat banyak yang mencari kerja aku malah menolak mentah-mentah kesempatan itu. Tapi disaat pilar-pilar semangat untuk kuliah berdiri kokoh, pilar-pilar itu hancur dalam hitungan detik! Terbayang iklan Essenza, pion-pion catur raksasa yang berjatuhan satu-persatu kemudian hancur. Padahal nampanya pion-pion itu besar dan kokoh. Aaah, nafasku kurang panjang rupanya.
Teringat aku pada impian-impian busuk masa sekolah dulu, kuliah dan menjalani hidupku -my own life- sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa paksaan. Ibu dulu ingin aku jadi dokter umum atau dokter gigi-lah, minimal. Aku iyakan. Bapak dulu ingin aku jadi ambassador. Aku iyakan. Semuanya tidak ada yang tercapai, karena ternyata jauh di dalam lubuk hati, I said NO!. Alasan yang sangat sederhana, bukan? Tapi, kali ini rasanya aku ingin memohon pengertian dan restu ibu bapak untuk melangkah. Meminta sebentuk keikhlasan yang sangat tulus dari mereka sebagai pondasi pilar-pilar semangatku. Menggapai apa yang ingin aku raih. Tapi aku tidak punya kekuasaan untuk berkata tidak, aku masih menyusu pada mereka, mereka punya otoritas atasku. Aaah…
Sekarang aku ada di sini, entah untuk berapa lama. Mungkin sebentar lagi akan kutinggalkan kota berhati nyam-nyam ini. Kulempar jauh pandanganku ke utara, berharap pemandangan gunung di pagi hari dapat kunikmati hari ini. Nihil. Sepasang suami istri penguasa daerah utara itu belum menampakkan diri. Mungkin mereka masih berpelukan, mengusir dinginnya pagi. Kulemparkan pandanganku ke bawah jembatan, seorang lelaki tua duduk menenggelamkan sepersekian bagian pantatnya ke dalam air sembari merokok. Dunia adalah surga baginya. Lalu kuikuti langkah demi langkah para pekerja pagi. Menuju tempat transaksi ekonomi ke arah barat Tugu, sembari berkhayal, jika ada yang bertanya, apa yang paling ngangenin dari Jogja, akan kujawab, “Tidak ada’’. Jika ada yang bertanya, apa yang ngangenin dari Jogja, akan kujawab ,“Semuanya’’. Ah, bulir-bulir itu merambat turun lagi. Pandanganku mengabur, dingin sekali pagi ini.
P.S : sekarang aku di sini, di Jogja lagi, sungguh ga ada yang perlu disesalkan, semuanya adalah pelajaran, dan kenangan, cerita ini aku ambil dari blog lama, sebagai tugas sekolah menulis sesi fiksi... thx juga buat Adis yang dulu harus kucium paksa sewaktu mengantar kepulanganku ke Palembang, neh anak emang bener-bener bikin kangen, thx ya teman-teman (Adis, Echy, Ory, Nunu, kak Bukh)...
hehe...
ReplyDeleteyang kita rasain sama ya...
:D
hai, makasih dah mampir di blog ku, postingan taun 2004 :D
ReplyDeleteOOT ya,
soal sampah ya.. di Germany, sampah umumnya terbagi²; sampah bio, sampah dari rumah tangga, contohnya, kotoran dr kita nyapu rumah, bekas diapers, hihihi...maap yg ini susah neranginnya :P kedua sampah ini diambil setiap seminggu sekali secara bergantian, trus ada sampah plastik dan kertas/karton yg diambil sebulan sekali, semua sesuai jadwal yang sudah disediakan. Ada lagi sih, sampah perabotan rumah tangga (kecuali barang elektronik) itu setahun sekali. Trus sampah² dari minyak, dsb nya juga ada sendiri, dan sampah barang elektronik juga ada sendiri, biasanya diantar ke suatu tempat dan yang pasti dikenakan biaya, hehehe... Emm, kalo sampah botol plastik minuman, disini rata² memakai 'pfand', jadi setiap beli minuman sudah dikenakan biaya botol plastiknya, jadi agar biaya botol plastik tersebut balik ke kita, maka kita kudu ke toko nya untuk ngembaliin botolnya dan kita dapet duitnya, hihihi... sorry, i am not good teller :D
amponn..panjang banget comment ku...
mas wib :
ReplyDeletehmmm, which part, mas? banyak bagian loh ayayay...
mbak linae :
yah makax, aku dapet banyak ttg yg di Germany tp yg di Freiburg belum ada... sistem itu menyeluruh di semua Germany ato nggak? ada masalah kah alias penyimpangan dari "budaya" mbuang sampah di Freiburg? tau gimana keadaan daerah slum-nya ga mbak?
owhh..salah nangkep saia, sowwy..
ReplyDeletesystem itu tentu saja tentu saja menyeluruh lah, aku blom pernah nyusup² ke sekitar Freiburg, itu taun 2004, skrg di Bad Kreuznach :D jadi maap, ga gitu banyak tau deh... hehehe..
penyimpangan yg macam gimana maksudnya? kalo individu yg pasti ada banyak, sempet muncul ditivi, tapi itu dari kalangan rumah tangga yang pemalas, but, itu pun langsung diurus sama pemerintah.. hehehe..
wah gitu ya? pendapat pendatang gimana tuh? trus kalo tentang vauban tau ga mbak? hehehe
ReplyDelete