Tuesday, December 9, 2008

Penggal penggal : Antara Aku, Tulisanku dan Dunia

Kulirik jam di side bar laptopku. 01:35. Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Masih terjaga sepagi ini. Aku bersandar, duduk menindih bantal kepala. Kuangkat laptop, kududukkan di pangkuan. Rintik hujan terdengar. Di luar jendela, sunyi... Kulempar lagi pandanganku. Kali ini ke seluruh sisi ruangan. Kamarku, istanaku. Nothing special. Hanya serakan baju, buku, botol air mineral, dan...kulit jeruk. Aku bahkan tak ingat. Kapan terakhir kali aku bersih-bersih. Mataku terpaku di pojok kanan. Setumpuk baju, bersih. Kuangkat dari jemuran. Kira-kira...hmmm, sebentar. Biar kupikirkan dahulu. Dua atau tiga hari lalu. Sial! Aku tak bisa mengingatnya. Cheese! Aku jijik! Kamarku istanaku? Ugh! Lebih mirip dengan...ya! Kapal pecah! Tepat sekali!

Kulemparkan lagi pandanganku. Lebih liar kini. Menyapu seluruh ruangan. Tanpa terkecuali. Kanan, tengah, kiri, atas, bawah, acak, berulang. Semua hampir tidak pada tempatnya. Apa itu? Mataku terhenti di tengah-tengah. Plastik dengan gambar...entahlah. Aku tidak yakin itu gambar. Itu hanya sesuatu...entahlah. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Hanya warna. Pink. Warna kesukaan para wanita. Tidak bagi aku! Aku alergi! Tak sadar, bibirku mengeja cepat. “En i ni ce e”. N-I-C-E. NICE! Ah, plastik bekas tisu toilet. Kurobek liar tadi malam. Menghapus tiap bulir air mata yang turun. Tisu bertebaran. Bergumpal-gumpal. Plastik itu tergeletak begitu saja. Setengah tertindih jaket merah darah. Dekat lipatan mukenah. Lipatan? Cheese! Kalau layak disebut lipatan. Aku lebih suka menyebutnya...gumpalan! Hahaha, aku pintar!

Aw, pundakku sakit. Pundakku menggeliat di dinding dingin. Kuputar leherku, kiri, kanan. Hmmm, mataku terpaku. Camelia dalam botol. Warna putihnya tersamarkan. Warna lampu berpijar kekuningan menerpa. Membuat warnanya semakin eksotis! Aku ingat, dulu kusimpan camelia. Di kamarku. Dulu sekali. Sampai mengering dan tak bisa kubedakan. Apa itu camelia atau edelweis. Hmmm, aku selalu mengaguminya. Aku ingat. Bertanya kepada penjualnya. “Camelia ada artinya ga pak?”. Si penjual menggeleng. Tak penting bagiku. Suka ya suka. Tak ada alasan. Terkadang sesuatu itu tak butuh alasan. Hihihi, aku merasa senang. Kubuat setiap yang melihat camelia dalam botol itu menerka. “Dari X ya?”. “Dari X ya?”. “Dari X ya?”. Sial, mana punya aku X! Yeah, setidaknya mereka tertipu. Hahaha. Aw! Pundakku sakit... Tercium aroma jeruk. Pewangi yang kugantungkan di jendela. Dibawa angin dari sela-sela. Jendela tak kututup rapat. Sengaja. Hmmm, wangi... Aku suka aroma jeruk!


Kubenarkan posisi sandaranku. Kutekankan kedua telapak tanganku ke kasur. Tekan, setengah angkat, kutarik pantatku mendekat. Lebih dekat ke dinding. Kugaruk kepalaku. Kapan terakhir kali aku keramas? Tadi pagi kok. Tapi kok terasa gatal ya? Hoaaam. Aku menguap. Ingin tidur. Sangat. Tapi tak bisa. Mataku sebesar-besar bola pingpong. Lho, apa ini? Ada yang berlari menuruni pipiku. Pandanganku mengabur. Ssssssrt, kuhisap cepat. Cairan yang hendak keluar dari hidungku. Lagu daerahku mengalun di MP3.

“Diruuut, Diruuuut jangan nangis. Bapak nak begawe... Dirut jangan nangis...”

Tiba-tiba pikiranku melayang. Terbayang saat aku kecil, dulu. Kupejamkan mataku... Angin malam berhembus, dingin. Aku duduk berdampingan. Dengan adik laki-lakiku. Di teras depan rumah. Entah pukul berapa waktu itu. Yang jelas, bintang bertebaran, banyak sekali... Entah apa ada suara serangga malam waktu itu. Aku tak ingat. Yang jelas, aku melingkarkan lengan kiri ke bahu kirinya. Kami terdiam. Entah apa yang ada di pikiran kami waktu itu. “Yuk, masih lamo ye ibu balek ?”. “Dak tau dek, mungkin ”. “Maen tebak-tebakan yuk. Kiro-kiro bis mano yang mbawa ibu balek”. Dia mengangguk, tersenyum tipis. Brrrrrm. Aku tak tahu bagaimana. Kuanggap saja seperti itu bunyi bisnya. “Itu!”, jeritnya seraya sontak berdiri dan setengah berlari. Menghampiri pagar.

Aku ikut berlari, tiba-tiba berhenti. Ternyata bukan. Bis itu tidak berhenti di depan rumah kami. Adikku menapakkan kakinya. Menjajal besi demi besi. Sebesar lengan orang dewasa. Berwarna mengkilap. Stainles steel. Kata orang. Lalu kami duduk tertunduk di atasnya. Terasa dingin. Karena kabut malam, mungkin. Kami menghadap ke jalan raya. Aku menjajarinya, kembali merangkulnya. Brrr, dingin. “Dek, galak putu dak? Apo nak mi tek tek? ”. “Mano be, terserah”, jawabnya. Tling tling tling, dia mengetuk-ngetukkan kukunya ke pagar. Kakinya berayun-ayun. Malam seperti ini. Yang ada hanya kue putu atau mi tek tek. Bunyinya tek tek tek. Memukul-mukul wajan. Dengan sutil. Jadi disebut mi tek tek. “Tunggu sini ye, ayuk mbek duit dulu ”. Aku turun, berlari cepat. Masuk ke pintu depan. Belok kanan. Lurus. Belok kanan. Kurogoh kantong seragam SD ku. Nihil. Ku geledah tas punggung yang tergantung di belakang pintu. Kubuka semua retsletingnya. Kuhamburkan semua isinya. Nihil. Aku berlari ke luar kamar. Belok kiri. Lurus. Belok kanan. Aku berhenti. Kutatap pintu besar bercat putih. Kuletakkan tangan ke gagang pintunya. Kugenggam, setengah kutekan. Kuurungkan niatku. Ini kamar ibu, aku tak berani.

“Dek, ayuk katek duet . Gek ngutang be yo . Mang Juki kan tau dengan kito”. Ia menggeleng. “Terserah”. Brrr, dingin. Brrrrrm brrrrrm brrrrrm. Dia mendongak, tersenyum, badannya tegap. Aku harap-harap cemas. Bis itu berhenti! Tepat di depan kami! Brrrrrm brrrrrm brrrrrm. Bis itu pergi lagi. Mengepulkan asap hitam dalam pekatnya malam. Membumbung tinggi, lalu hilang. Tertiup angin malam, dingin... Sesosok tinggi bertopi membelakangi kami. Berjalan pelan. Memasukkan tangannya ke dalam jaket. Berjalan ke dalam lorong.. Lalu menghilang. Ditelan gelap malam. Uh, bukan yang kami tunggu! “Yuk, mang Juki jualan dak ye malem ni?”. “Pastilah, tunggu be ye”. Lima. Tujuh. Sepuluh. Lima belas menit. Tak ada bis ibu. Tak ada mang Juki. Anjing melolong panjang. Hitam, si hitam. Milik si Batak. Dua hari kemudian mati. Diracun, mungkin. Banyak yang tak suka dengan anjingnya. Suka mengejar, liar. Aku pernah, dikejar! Aku menangis, menjerit, minta tolong. Dia tidak betul-betul mengejar. Hanya menggertak. Mungkin dia suka. Melihatku lari terbirit-birit. Sembunyi di sela-sela pohon ketela. Di kebun pak Madi’. Aku benci lewat belakang rumah! Sialan!


Kutatap lagi langit. Bintang...banyak sekali. Kiki memutar badannya 180 derajat. Melompat turun, tak menoleh ke jalan raya. Ditendangnya bakal buah kelapa seukuran kenari. Gugur sebelum jadi kelapa. Di rumahku banyak pepohonan. Ibu dan bapak suka bertanam. Angin bertiup. Lumayan kencang. Mengusik dahan-dahan kelapa. Ssssrk sssssrk ssssssssrk. Dahan kelapa berbisik, “Lihat itu, mereka menunggu ibu pulang, hihihi...”. Aku mengikuti Kiki. Menjajari langkahnya. Tak kugubris ejekan dahan kelapa. Apa peduliku?!. Kutepuk nyamuk. Nakal, menghisap darah di jidatku. Plaaak! Mati dia! Hening... Tiba-tiba kami berhenti. Serentak. Saling menatap lalu tersenyum. Bak tentara, kami memutar badan serentak. Tanpa aba-aba. Berlari-lari menghampiri pagar, memanjat, lalu melompat turun. Pandangan kami menyapu semua arah. Belum, belum nampak. Tapi suaranya terdengar dari kejauhan. Tuuuut tuuuuut tuuuuuuut. Lambat laun terlihat. Bakul persegi dari kayu berayun. Naik turun. Naik turun. Mang Juki memanggul bambu. Warnanya hitam, dipenuhi jamur mungkin. Wajahnya tak terlihat. Tertimpa cahaya sentir kekuning-kuningan.

Seperti biasa. Mang Juki memakai topi hitam. Di lehernya melingkar handuk salon. Kami menunggu. “Ki! Yan! Nak beli? Lagi nunggu ibu yo?”. “Iyo mang, tapi boleh ngutang dak? Ayuk dak katek duet. Kiki jugo dak ado mang... Bik Iyah dah bobok. Tapi pasti besok dibayar ibu”, celoteh Kiki cepat. Mang Juki tersenyum simpul. Diusapnya kepala Kiki. Diturunkannya bakul persegi itu ke atas tanah. Dilepaskannya bambu dari tali penggantung bakul. Tuuuut tuuuuut tuuuuuuut. “Nak berapo Ki?”, tanyanya sembari sibuk. Menyodok-nyodok potongan bambu kecil. Mengisinya dengan bahan. Tepung dan gula aren. Kiki menatapku, meminta persetujuan. Aku hanya senyum. “Sepuluh! Tar kami bagi duo”. “Siap bos! Bapak begawe malem?”.

Mang Juki membuka penyumbat lubang kecil beruap. Diletakkannya ruas demi ruas bambu isi bahan. Tak satupun kami menjawab. Kuanggap mang Juki melihat. Tak ada mobil di garasi. Berarti bapak pergi. Kerja malam. Membuat pupuk, kata orang-orang. Kami terpukau, selalu. Cekatan sekali! Hanya suara sibuk mang Juki. Terdengar dalam heningnya malam. Brrrr, dingin... Kelelawar melesat turun. Meninggalkan istananya. Dahan kelapa depan rumah. Kalau siang mereka seperti buliran air hitam raksasa. Tapi tak pernah menetes. Menggelantung. Terkadang bergoyang-goyang. Tertiup angin. Kami suka, melemparinya. Dengan kerikil. Hihihi...

Aku duduk lagi di atas pagar. Kiki sibuk bercerita dengan mang Juki. Brrr, dingin... Tiba-tiba dari sebelah kiri ada bis melaju. Brrrrrm brrrrrm brrrrrm. Aku sigap. Adikku tidak menyadari rupanya. Hingga bis berhenti tepat di depan kami. Kiki menoleh, celingukan. Sesosok wanita menjinjing tas dan buku. Menghadap kami, tersenyum. Kiki menjerit, “Buuuuu!”. Bulir-bulir hangat turun perlahan di pipiku. Pandanganku mengabur. Aku menghambur berlari. Mendekap erat tubuh Kiki yang menempel di tubuh ibu. Wangi ibu, aku selalu suka. Entahlah, wangi apa itu. Wangi sibuk. Wangi keringat. Wangi ketiak. Dari pagi hingga malam, sibuk. Ibuku guru, kalau sore kuliah. Sampai malam, sibuk... Hmmm, aku hebat. Bisa kembali ke masa lalu. Tak kusadari, badanku tak lagi menyender. Laptop di atas kasur, badanku berbaring. Sejak kapan posisiku berubah?

Kuletakkan kembali laptop. Di atas meja lipat kecil, gambar One Piece. Aku suka kartun itu. Bajak laut, bertualang. Bebas, lepas... “Aku juga mau”, batinku. Membayangkan laut, biru, luas, lepas. Realitanya, aku di sini. Kubus 27 meter kubik. Dua jendela, satu pintu. Warna oranye mendominasi. Aku suka jeruk. Aku suka oranye. Aku menarik napas panjang. Menggaruk-garuk jidat. Memukul-mukul pelan. Memaksa berpikir. Tema, tema, tema... Besok deadline lomba. Belum juga aku dapat tema. “Antara aku, tulisanku dan dunia”. “Antara aku, tulisanku dan dunia”. “Antara aku, tulisanku dan dunia”. Berulang-ulang kubisik pelan temanya. “Siapa aku? Apa tulisanku? Ada apa dengan aku? Duniaku di mana? Aku penulis???”. Yeah, mungkin. Setidaknya, menulis laporan. Tiap hari, tiap minggu, tiap saat. Hampir botak rasanya. Bersaing dengan Prof. Y. Beliau mirip dengan...yap! Gubernur Gotham. Di film Batman. Seperti pinguin botak!


Kuulang lagi. Pertanyaan demi pertanyaan. “Siapa aku? Apa tulisanku? Ada apa dengan aku? Duniaku di mana? Aku penulis???”. Aku mahasiswa. Tulisanku tak banyak. Lebih suka ngeblog. Kadang terpaksa menulis laporan. Makalah-makalah. Essay-essay. Tidak ada yang salah denganku. Hanya saja...aku terkurung. Dalam kubus 27 meter kubik. Dua jendela, satu pintu. Keluar hanya pagi hingga malam. Sebelum larut. Pukul 21.00 harus ada di kamar. Di rumah. Tiga bulan lalu, divonis. Bronchitis. Artinya, tidak ada lagi. Kelayapan dimalam hari. Hihihi, kenapa? Kau mengharapkan yang lebih? Lebih menakutkan? Lebih dramatis? Kanker misalnya? Atau...AIDS? Hahaha tidak tidak tidak. Ini bukan cerpen dramatis. Yang berakhir kematian. Aku bosan. Terlalu klasik. Ah, terbayang kelelawar itu. Yang melesat turun. Dari istananya, dahan kelapa. Depan rumahku, di Palembang. Kenapa dia tidak mengidap Bronchitis? Uh, sebaaal! Kelelawar sial! Rintik hujan berirama. Di luar jendela. Brrr, dingin...

Ya ya ya! Aku tahu! Pak Wisnu pernah. Bilang padaku. Begini katanya, “Kau tidak bisa memaksa. Orang punya hak pakai plastik. Kau tidak berhak. Melarang. Jangan”. Rohku melayang. Kembali ke beberapa minggu lalu. Aku dan Lala. Ke Minomartani. Ke sanggar sampah. Tempat mengelola dan belajar. Tentang sampah. “Kau tidak bisa memaksa. Orang punya hak pakai plastik. Kau tidak berhak. Melarang. Jangan”. Beliau salah paham. Dikiranya aku aktivis lingkungan. Bukan, aku bukan. Dikiranya aku berkampanye. Berteriak di pinggir jalan. “Jangan pakai plastik! Jangan pakai plastik!”. Tentu tidak. Gila aku! Hahaha. Aku hanya menulis, sebagai bahan. Tugas Sekolah Menulis. Essay ilmiah tentang sampah. Aku menulis, bahwa aku mengurangi. Mengurangi pemakaian plastik. Dikira pak Wisnu aku melarang orang. Tentu tidak. Aku bilang, “Kalo cuma saya, yang mengurangi. Tidak berarti apa-apa. Tapi saya juga tidak boleh melarang. Melarang orang memakai plastik. Trus gimana dong Pak? ”. Beliau terdiam sejenak. Berjalan berdampingan dengan Lala. “Saya cuma nulis. Dalam esay buat tugas. Tentang pengalaman saya. Mengurangi sampah plastik”, tambahku. Mata beliau terbelalak, “Oh ya kalo gitu bagus. Nulis biar orang tahu”. Huuufh, aku melepas napas. Lega. Itu yang aku maksud.

Apa? Kamu bertanya apa intinya? Kamu tidak menangkap? Tulisan. Orang tahu. Itu yang aku butuhkan. Aku, Tulisanku dan Dunia. Tema lomba tulisannya. Aku yang menulis. Tulisan kosong ini. Aku melempar-lempar kamu. Ke kamarku. Ke kampung halamanku. Ke Minomartani. Tidakkah kau merasa? Itulah kekuatan tulisan. Membawamu, ke manapun. Si penulis membawamu. Sesukanya. Menceburkanmu dalam pekat malam. Menggiringmu, serasa terengah-engah. Ketika adegan dikejar anjing. Membagi pengalaman, yang tak kau alami. Tapi kau tahu. Yeah, lewat tulisan. Penggalan kata-kata pendek. Entah kata. Entah kalimat. Entah huruf. Entah apapun itu. Padahal aku masih di sini. Begitu pula kau. Masih dalam posisi sama. Tapi si penulis memang penyihir! Dia melontarkanmu. Ke sana, ke sini. Sesukanya! Sial! Aku penulisnya tah? Hihihi...

Stop! Aku melihatnya, tulisan. Huruf G dan P kapital. Dicetak besar, dan tebal. Di selembar kertas. Tertempel di dinding warna oranye. Di atas meja lipat kecil. Di bawah foto narsis. Aku dalam balutan gaun abu-abu. Aku seperti perempuan di situ. G-P. Singkatan dari Garis Panjang. Kami sebut komunitas GP. Teman-teman anak jalanan. Kami mengajari mereka. Berbagi pengalaman positif. “Melarang” mereka ngelem. Selagi menggambar, dan bermain. Bersama kami, aku, Nunu, dan Fiit. Di perempatan Tugu. Malam hari, tentu saja, sebelum pukul 21. Mereka suka memotret. Pakai kamera digital Nunu. Mereka tidak ngelem, atau merokok. Ketika bersama kami. Mereka sibuk jeprat-jepret. Sibuk corat-coret. Lupa ngelem. Lupa ngerokok. Memperlambat kematian mereka. Ah, sedang apa mereka? Di luar hujan. Dingin. Apa mereka tidur? Mereka kedinginan tak? Bulir-bulir itu menuruni pipiku. Lagi. Terasa hangat. Tapi lengket...

Kami suka, melihat mereka tertawa. Waktu itu, 17an. Agustus 2008. Hari kemerdekaan. Kami tanding futsal. Dengan bintang tamu. Alex. Alexander Ell. Germany. Datang ke Jogja. Meneliti bersamaku. Tentang, ah... tak usah kusebutkan. Kami berlari, saling menendang. Saling jagal. Tertawa, lepas. Mandi debu. Di lapangan Muhi. Siang bolong. Telanjang kaki. Panas dan sakit. Kami tak peduli. Tendang teruuus! Timku dan Alex kalah. Tim Komandan menang. Mereka punya komandan. Orangnya hitam manis. Jago sekali pokoknya. Lomba demi lomba. Permainan tradisional. Ala 17an. Makan kerupuk. Pecah air. Lari kelabang. Hingga lomba nangis. Kata Alex kami kejam. Memaksa mereka nangis. Dia tak percaya. Ternyata, tidak ada tangis. Mereka tak bisa. Mereka tertawa. Geli. Hanya Komandan. Seksama, mendalami semedinya. Mencoba menangis. Tapi hanya tetes demi tetes. Dan menang!

Apa? Kau bertanya apa intinya? Aku memberitahu padamu. Dunia mereka kejam. Tapi mereka tidak menangis. Sulit bagi mereka. Tapi mereka suka tertawa. Satu pelajaran bagiku. Aku tidak boleh menangis. Seperti semalam. Mengotori kamar dengan tisu. Berserakan di mana-mana. Menyesali diri. Mengeluhkan tugas. Mengeluhkan kesepian. Aku dikalahkan GP! Mereka tegar, sangat. Padahal dunia mereka kejam, kata orang. Tapi mereka tertawa... Menyembunyikan kesedihan. Aku, tulisanku dan dunia. Dunia bukan hanya milikku. Buka mata... Selamat malam, mari tidur... Besok pasti kubereskan kamarku. Pasti! Hoaaam... Aku menuliskan duniaku, duniamu, dunia mereka. Ke dalam tulisan kosong... Celoteh... Sudah-sudah! Ayo tidur!

4 comments:

  1. dunia memang kejam nduk...

    tapi ingat lah pepatah yunani kuno: "jika kita keras kepada dunia, ia akan lunak kepada kita... tapi jika kita lunak kepada dunia, ia akan keras kepada kita..."

    :D

    ReplyDelete
  2. ehehe ini tulisan alias cerpen berantakan tak jadiin bahan buat lomba nulis, bikinnya juga asal2an [boong bgd] hahaha... wah itu NN ato filsuf mana yg bilang? hehehe boleh2 bisa buat bahan tulisan kelak huahaha... jadi... gmn kost2annya? hehehe

    ReplyDelete
  3. oi oi.
    long time no see

    ReplyDelete
  4. ahaha mas sonic! ke mane aje hehehe... benul2 long time no c yap! traktiiiiir! PNS ney hehehe... asik asik banyak bgd tmn2 yg jadi PNS wakaka, makmurkan aku yap!

    ReplyDelete

Bantai tulisanku...